Uncategorized

Ketua DPRD Sumut soal Sengketa 4 Pulau: Kita Harus Pertahankan

Sengketa Empat Pulau: Polemik Baru di Kawasan Perbatasan

Latar Belakang Sengketa Wilayah

Sengketa wilayah selalu menjadi isu sensitif yang memerlukan kehati-hatian dan kebijakan yang bijaksana. Salah satu yang kini mengemuka di Sumatera Utara adalah polemik mengenai status kepemilikan empat pulau yang berada di perbatasan antara Kabupaten Tapanuli Tengah dan Provinsi Aceh Singkil. Keempat pulau tersebut—Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang—belakangan menjadi sorotan setelah muncul klaim dari pihak Provinsi Aceh yang menginginkan keempatnya masuk ke dalam wilayah administratif Aceh.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara, Baskami Ginting, secara tegas menyatakan bahwa wilayah tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari Sumatera Utara. “Kita harus pertahankan. Ini harga diri daerah,” tegasnya dalam konferensi pers di Medan.

Sejarah Administratif Empat Pulau

Keempat pulau tersebut telah sejak lama tercatat dalam dokumen administratif sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah. Berbagai dokumen seperti peta RTRW, catatan BPN, hingga data sensus kependudukan menyatakan bahwa pulau-pulau itu berada di bawah yurisdiksi Provinsi Sumatera Utara.

Namun, belakangan muncul interpretasi berbeda dari Pemerintah Aceh yang mengklaim pulau-pulau itu berdasarkan pada interpretasi batas wilayah yang ditarik berdasarkan aspek historis dan geografis. Sengketa ini menjadi semakin rumit ketika muncul desakan dari pihak-pihak lokal di Aceh Singkil yang meminta kejelasan dan kepastian hukum mengenai status pulau-pulau tersebut.

Pernyataan Tegas Ketua DPRD Sumut

Komitmen terhadap Integritas Wilayah

Ketua DPRD Sumut, Baskami Ginting, dengan tegas menyuarakan sikap lembaganya dalam mendukung upaya mempertahankan keutuhan wilayah provinsi. Menurutnya, klaim sepihak yang dilakukan oleh pihak luar tidak boleh diterima begitu saja tanpa dasar hukum yang sah dan valid.

“Kami bukan menolak dialog, tapi yang pertama harus kita tegaskan adalah bahwa keempat pulau itu secara legal administratif adalah milik Sumatera Utara. Bila ada perbedaan tafsir, mari kita duduk bersama dan bicarakan sesuai dengan hukum yang berlaku di negara kita,” ucap Baskami.

Urgensi Penanganan oleh Pemerintah Pusat

Baskami juga menegaskan pentingnya campur tangan dari Pemerintah Pusat. Menurutnya, konflik seperti ini berpotensi menimbulkan gesekan antar masyarakat lokal yang bisa memicu konflik horizontal. “Pemerintah pusat harus segera memfasilitasi dialog antara Pemprov Sumut dan Pemprov Aceh. Jangan sampai masyarakat di daerah yang jadi korban akibat tarik-menarik kebijakan administratif ini,” ungkapnya.

Tanggapan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara

Gubernur Sumut: Kita Mengedepankan Hukum

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara melalui Gubernur Sumut, Hassanudin, juga menyatakan sikap serupa. Ia menegaskan bahwa pendekatan yang dilakukan oleh Sumut adalah pendekatan konstitusional dan sesuai regulasi.

“Kami punya dokumen lengkap terkait status keempat pulau tersebut. Kami siap berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk menyelesaikan polemik ini secara elegan dan legal,” ujar Gubernur.

Langkah Strategis yang Telah Ditempuh

Pemprov Sumut dikabarkan telah mengirimkan surat resmi kepada Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian ATR/BPN untuk meminta kejelasan dan penegasan status wilayah. Selain itu, dalam waktu dekat, tim verifikasi batas wilayah juga akan diturunkan untuk memastikan penarikan garis batas secara objektif dan adil.

Dinamika di Daerah: Masyarakat Turut Menyuarakan Pendapat

Suara dari Tapanuli Tengah

Masyarakat di Kabupaten Tapanuli Tengah menyambut baik pernyataan Ketua DPRD Sumut. Mereka menilai bahwa selama ini pulau-pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah mereka, baik secara geografis maupun budaya. Kehidupan masyarakat nelayan yang telah lama bermukim di sekitar perairan empat pulau itu menjadi bukti kedekatan mereka dengan pulau-pulau tersebut.

“Kami sudah puluhan tahun menggantungkan hidup dari laut sekitar pulau-pulau itu. Bagaimana bisa tiba-tiba diklaim oleh provinsi lain?” ujar Ismail, seorang tokoh masyarakat di Barus.

Kekhawatiran Akan Konflik Sosial

Namun demikian, sejumlah pihak juga menyuarakan kekhawatiran bahwa sengketa ini bisa memicu konflik sosial antar warga di perbatasan. Oleh karena itu, mereka mendorong pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah ini secara damai dan adil.

“Kita semua bersaudara. Jangan sampai sengketa administratif memecah persaudaraan antar daerah,” kata Rina, seorang warga yang tinggal di wilayah pesisir Aceh Singkil.

Perspektif Akademisi dan Pengamat Hukum

Kajian Yuridis: Siapa yang Berwenang Menentukan?

Pakar hukum tata negara dari Universitas Sumatera Utara, Dr. Andri Lubis, menjelaskan bahwa sengketa batas wilayah antar provinsi harus diselesaikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang tersebut, ditegaskan bahwa penentuan batas wilayah menjadi kewenangan pemerintah pusat, khususnya melalui Kemendagri.

“Selama belum ada keputusan resmi dari pemerintah pusat, maka status administratif tetap merujuk pada peta wilayah yang terakhir disahkan secara hukum. Dalam hal ini, Sumut masih sah memegang otoritas terhadap keempat pulau tersebut,” paparnya.

Aspek Geopolitik dan Keamanan

Selain dari aspek hukum, pengamat geopolitik dari LIPI, Prof. Yusran Adityo, menambahkan bahwa perbatasan wilayah, khususnya yang berkaitan dengan pulau-pulau kecil, sangat strategis. “Pulau-pulau ini bukan hanya soal administratif. Tapi juga terkait keamanan laut, pengelolaan sumber daya alam, dan bahkan kedaulatan negara,” tegasnya.

Ia mengingatkan bahwa bila tidak ditangani dengan cermat, konflik ini bisa merembet ke isu nasional bahkan internasional.

Peran Kementerian Dalam Negeri dan BPN

Kemendagri: Akan Fasilitasi Proses Mediasi

Merespons polemik yang berkembang, pihak Kementerian Dalam Negeri menyatakan kesiapannya untuk menjadi fasilitator dalam penyelesaian sengketa ini. Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri menyebut bahwa pihaknya akan segera memanggil kedua belah pihak untuk mediasi.

“Langkah awal kita adalah mengumpulkan semua data yang relevan, lalu duduk bersama dengan pemerintah provinsi terkait. Ini harus diselesaikan dengan prinsip keadilan dan tanpa memihak,” ujarnya.

Peran BPN dalam Menyediakan Bukti Yuridis

Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga diminta untuk turun tangan dalam verifikasi data tanah dan peta wilayah. Lembaga ini menjadi kunci dalam memberikan dokumen pendukung resmi yang bisa dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan.

“Peta dasar dan sertifikat wilayah akan menjadi bukti yuridis paling kuat dalam membuktikan siapa pemilik sah wilayah tersebut secara administratif,” ujar seorang pejabat dari BPN Pusat.

Implikasi Ekonomi dan Sosial

Potensi Ekonomi Pulau-Pulau Sengketa

Empat pulau yang disengketakan ternyata menyimpan potensi ekonomi yang sangat besar. Selain potensi pariwisata bahari, kawasan tersebut juga kaya akan sumber daya laut seperti ikan, rumput laut, dan potensi energi laut. Tak heran, sengketa ini bukan hanya soal batas wilayah, tetapi juga kepentingan ekonomi.

“Potensi investasi di sektor perikanan dan wisata sangat tinggi. Wajar jika masing-masing pihak ingin memastikan wilayah itu masuk ke dalam yurisdiksinya,” kata ekonom dari USU, Prof. Darwin Harahap.

Ancaman Terhadap Stabilitas Sosial

Namun di sisi lain, potensi konflik sosial tetap menjadi ancaman nyata jika penyelesaian sengketa tidak dilakukan segera. Warga dari dua provinsi yang telah lama hidup berdampingan bisa terdorong pada konflik terbuka jika tidak ditenangkan oleh otoritas yang lebih tinggi.

Karena itu, suara dari tokoh agama, tokoh adat, dan organisasi masyarakat sipil sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas sosial di wilayah tersebut.

Kesimpulan: Urgensi Penyelesaian Sengketa Secara Damai

Sengketa empat pulau antara Sumatera Utara dan Aceh menjadi ujian bagi ketegasan dan kebijaksanaan pemerintah dalam menjaga keutuhan wilayah negara. Pernyataan Ketua DPRD Sumut, Baskami Ginting, mencerminkan semangat daerah dalam mempertahankan wilayahnya, tetapi juga membuka ruang dialog dan penyelesaian damai.

Diperlukan Solusi Berbasis Hukum dan Musyawarah

Penyelesaian terbaik dari polemik ini adalah melalui jalur hukum dan musyawarah, bukan saling klaim sepihak. Pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendagri dan BPN, harus menjadi penengah yang objektif dan adil. Setiap keputusan yang diambil harus mengacu pada bukti yuridis yang kuat dan mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi bagi masyarakat setempat.

Peran Semua Pihak

Semua pihak—baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, DPRD, akademisi, maupun masyarakat sipil—harus bekerja sama menyelesaikan sengketa ini. Kepentingan utama yang harus dijaga adalah keutuhan wilayah NKRI dan kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan.

Ketua DPRD Sumut telah menggaungkan semangat untuk mempertahankan hak wilayah secara sah. Namun lebih dari itu, semangat menjaga persatuan dan kedamaian antardaerah harus menjadi landasan utama dalam menghadapi setiap polemik batas wilayah. Karena pada akhirnya, yang kita jaga bukan hanya sepetak tanah, tetapi juga persaudaraan dan masa depan bersama.

Related Articles

Back to top button